Yohanes Silik (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh: Yohanes Silik

Sebuah jalan baru ditempuh untuk mengganti tatanan lama yang arogan. Saat tatanan itu mulai ambruk, optimisme hadir begitu kencang. Kehadirannya menjelma menjadi energi besar bagi tibanya sebuah era baru. Di titik itu, otoritas hadir menggantikan segala macam abnormalitas rezim lama yang sekian lama telah membelenggu tatanan. Kesadaran-kesadaran kritis yang lahir dari proses desubjektifikasi sukses membawa angin baru perubahan.

Pelbagai kedangkalan dimusnahkan demi sebuah kedalaman peradaban untuk membingkai potret baru yang telah lama disuramkan. Fakta yang terjadi ini dalam bingkai atau perspektif tertentu dilihat sebagai jalur unik, tapi dari sudut yang lain, ia menegaskan bahwasannya jalur/rute baru yang ditempuh merupakan bagian dari posibilitas. Sebagai posibilitas, rute itu tidak selalu aman. Konsistensinya terus dibayang-bayangi oleh kemungkinan.

Dalam konteks itu, perubahan tatanan tidak bisa mengikuti nalar sempit yang hanya memandang segala sesuatu aman-aman saja, tanpa melihat bagaimana otoritas diperhatikan dan selayaknya dipertahankan. Ketika masa depan tidak diawali dengan sebuah proses total, kita diperhadapkan dengan dilema (perjalanan) rezim yang memprihatinkan: atau berhasil atau gagal? Belum lagi, dalam perjalanan panjang selanjutnya terdapat proses-proses yang bisa membajak demokrasi.

Dilema ini semakin kuat manakala absurditas kian mewarnai proses ke luar dari dan masuk ke. Dalam absurditas itu, tatanan menjadi busuk sehingga banyak yang merasa muak. Transisi sebagai sebuah proses keluar dari dan masuk ke tidak dituntaskan dengan tindakan awal yang benar-benar total (bdk. Huntington dan Przeworski dalam Sorensen, 2014). Alhasil, era baru menjadi gamang. Optimisme yang pada awalnya hadir begitu kencang kini terlihat loyo. Benar, dari rakyat, oleh rakyat tapi, tidak untuk rakyat.

Kegamangan atau keloyoan tersebut merefleksikan akhir sekaligus awal yang tidak total. O’ Donnell dan Schmitter menyajikan satu dalil menarik, yakni tentative dan uncertain. Sari pati dalil ini kurang lebih mengatakan bahwa dalam konteks transisi, pergantian tatanan/rezim politik tidak bisa dilihat sebagai proses yang final oleh karena kompleksitas komposisi situasi yang berada di dalamnya.

Menurut Donnell dan Schmitter, pergantian tatanan dari yang lama ke tatanan yang baru atau transisi mengandung sejumlah besar situasi yang mana partikularitasnya cukup sulit teridentifikasi dengan baik. Yang dimaksud dengan partikularitas ialah konteks-konteks lokal yang terjadi di masing-masing wilayah yang memang memiliki karakteristik/jalur yang berbeda. Perubahan tatanan/rezim politik, secara substansial, banyak melibatkan partikularitas yang tersembunyi yang pada akhirnya membuat kita harus melihat transisi sebagai fase yang tidak pasti dan kompleks.

Tentative dan uncertain adalah dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan transisi (ke demokrasi) yang tidak sederhana. Bahwasannya tumbangnya rezim politik otoritarian dan peralihan ke rezim politik yang baru (demokrasi) berlangsung dalam situasi permulaan yang kompleks. Dalil di atas berlaku untuk perjalanan rezim tatanan reformasi kita. Bahwasanya kegamangan (bahkan mungkin kegagalan) yang kita kritisi belakangan ini sebenarnya merefleksikan kesementaraan dan ketidakpastian dari rezim reformasi itu sendiri.

Adalah proses awalnya yang tidak dibangun di atas aktivitas total. Permulaan reformasi tidak tuntas membereskan otoritarianisme tatanan lama. Masih banyak “alumni” Orde Baru yang eksis di panggung tatanan baru ini. Kita melihat bagaimana mereka sukses berdaptasi (bdk. Przeworski dalam Sorensen, 2014). Kini, tak sedikit dari mereka telah menjadi oligarki yang sukses membajak kekuasaan dan kebijakan. Narasi demokrasi digemakan, tapi substansinya dikebiri oleh logika oligarki.

Sisi yang menarik ialah keberhasilan para alumni rezim politik lama (Orde Baru) yang masih eksis berkiprah dalam pangung politik dan pemerintahan kita saat ini. Hal ini menunjukkan daya adaptif mereka terhadap kondisi peralihan yang terjadi dengan kalkulasi politik yang cukup matang. Benar kata Przeworski (dalam Sorensen, 2014) bahwa permulaan transisi ke demokrasi ada yang terjadi dalam ketidaktotalan. Tidak semua produk rezim politik otoritarian benar-benar hancur secara total. Proses adaptif dan jalan negosiasi yang dipilih adalah alasan mengapa transisi ke demokrasi kita di era reformasi rentan dibajak.

Edwad Aspinall dalam tulisannya yang berjudul “Dua Puluh Tahun Demokrasi Indonesia” (2018) mengutarakan pandangannya mengenai demokrasi di Indonesia. Ada kemajuan yang ia apresiasi, tapi ia juga memberikan catatan kritis bahwa kondisi demokrasi di Indonesia semakin mundur. Ia juga mengingatkan bahwa kondisi resesi demokrasi global turut menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Ia menulis: “Tentunya, kita perlu berhati-hati ketika berpikir tentang tren masa depan. Kita sedang berada di tengah-tengah transisi sejarah dunia baru dan kita tidak tahu apakah kita hanya pada awal dari retret demokrasi di seluruh dunia, atau sudah dekat dengan pergantian gelombang otoriter.”

Inilah disorde demokrasi kita. Sebuah disorde yang bergerak dalam kesementaraan dan ketidakpastian. Alih-alih melihat demokrasi benar-benar menjadi perwujudan kuasa rakyat secara otentik, demokrasi justru menjadi the only game in the town yang distortif. Kesementaraan dan ketidakpastian itu menggejala dalam progres kerja institusi demokrasi yang mengalami pembusukan dari dalam.

Ya, tak ada yang pasti. Kemajuan demokratisasi di Indonesia tak mutlak berarti otoritarianisme tak akan kembali menampakkan batang hidungya. Pun, kegagalan demokrasi yang tak mampu menjadi citra kuasa rakyat sepenuhnya, pada akhirnya mengonfirmasi disorde demokrasi di Indonesia. Reformasi/institusionalisasi demokrasi yang ada saat ini bukanlah realitas mutlak. Itu artinya, kita harus terus waspada dan makin gigih untuk terus bekerja keras agar reformasi/demokrasi kita tetap bertahan.

Penulis teringat akan buku ILL WINDS (2018) yang ditulis oleh Larry Diamond. Dalam buku itu, Diamond mengatakan bahwasannya saat ini angin buruk tengah berhembus. Demokrasi tengah berada di persimpangan antara konsistensinya menuju pembaharuan/penguatan dan kebangkitan kembali rezim politik otoritarianisme yang bisa dimaknai sebagai kehancuran rezim politik demokrasi. Ini merupakan gejala global saat ini yang bisa menghantam negara manapun tak terkecuali Indonesia. Ya, di Indonesia pun sejarah belum berakhir.

Yohanes Silik merupakan warga Maumere kini tinggal di Nangameting, Maumere, berminat pada tema-tema diskusi tentang demokrasi.

Previous articleKornelis Dola, Pendatang Baru Pilkada Manggarai, Bisa Pecahkan Suara Deno Kamelus?
Next articleKepsek Bantah Ada Persoalan di SDI Wae Jare

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here