Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menggelar diskusi dengan tema Pengembangan Desa di Kawasan Taman Nasional Komodo’ pada Rabu (23/10).

BERITA FLORES – Kelompok Studi Tentang Desa (KESA), organisasi yang memfokuskan diri pada kajian seputar isu-isu tentang desa genap berusia 5 tahun pada hari ini, Jumat (25/10).

Untuk merayakan  ulang tahunnya itu, organisasi yang berdiri 25 Oktober 2014 ini menggelar diskusi publik dengan tema ‘Pengembangan Desa di Kawasan Taman Nasional Komodo’ pada Rabu (23/10).

Tema ini diusung karena kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa belum sepenuhnya membebaskan desa dari kungkungan dan intervensi pemerintah supra desa.

Kondisi ini dialami oleh tiga desa yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Ketiga desa ini antara lain, desa Komodo terletak di Pulau Komodo, desa Pasir Panjang terletak di Pulau Rinca, dan desa Papagarang terletak di Pulau Papagarang.

Diskusi yang berlangsung di  aula Ganesha Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta ini menghadirkan Direktur LSM Sunspirit for Justice and Peace, Gregorius Afioma, sebagai pembicara.

Selama ini Sunspirit banyak melakukan riset dan advokasi terkait berbagai masalah di Manggarai Barat termasuk isu konservasi di Taman Nasional Komodo.

Dalam pemaparan tersebut, Afioma mengatakan masyarakat desa di TNK dan sekitarnya tidak mendapatkan manfaat signifikan dari perkembangan sektor pariwisata.

“Dalam banyak hal mereka terpinggirkan baik terhadap akses serta manfaat dari konservasi maupun pariwisata,” ujarnya.

Dalam kasus desa Komodo misalnya, menurut Afioma, jangankan mengelola aset-aset yang ada di dalamnya, bahkan sekarang warga desa sedang terancam  untuk dipindahkan.

“Jadi, isu pembangunan desa di kawasan Taman Nasional Komodo mungkin lebih kepada isu-isu yang secondary. Sementara isu primer bagaimana mereka tetap bertahan di dalam dan punya akses terhadap sumber daya kehidupan di dalamnya,” ujarnya.

Menurutnya, pengembangan desa di dalam kawasan TNK berhadapan dengan kekuasan ekonomi politik yang lebih kuat. Prinsip-prinsip konservasi yang diusung pemerintah justru membatasi ruang gerak pemerintah dan masyarakat desa untuk menggembangkan desa mereka.

Sementara pada sisi lain, desa tak berdaya karena berhadapan dengan mekanisme pasar yang terjadi di sana karena rata-rata yang mau menguasai wilayah ini adalah sektor swasta yang bekerjasama dengan pemerintah sebagai otoritas pemberi izin.

“Makanya ada proses ketidakadilan di sana,” tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Suharyanto, dosen STPMD “APMD” Yogyakarta salah satu pemateri dalam diskusi publik ini, mengatakan pengembangan desa di TNK merupakan sebuah dilema. Dalam konteks pengembangan desa yang berada di kawasan Taman Nasional secara umum dan Taman Nasional Komodo secara khusus, desa hanya bisa berpartisipasi.

“Partisipasi yang dilakukan desa sifatnya mendukung atau mengisi celah-celah yang belum diisi oleh pariwisata. Misalnya pembangunan toilet ataupun Home Stay,” ujarnya.

Herry Kabut/BF

Previous articleAtasi Masalah Sanitasi, Deno Ajak Semua Pihak Kerja Sungguh-sungguh
Next articleKepsek Diminta Kelola Dana BOS Secara Efisien

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here